Topeng Bahgie di Tepi Keloyang
Oleh Adryan YahyaSeperti layaknya gadis-gadis lain, aku juga memiliki impian; kelak bisa membangun bahtera rumah tangga bahagia dalam balutan kasih sayang dan cinta. Memiliki suami berwajah rupawan, serta menimang-nimang bayi mungil dengan gelak tawa riang. Akankah segala harapan itu dapat terwujud menjadi nyata?
***
Aku tak tahu entah sejak kapan wajahku berubah menjadi buruk rupa. Aku juga tak tahu kenapa kutukan menyemai sejuta bulu-bulu kera di wajahku. Yang kutahu, semua orang membenciku. Ibu-ibu yang melihatku melempar caci dan mengusirku dengan kata-kata kasar. Seolah-olah aku seonggok bangkai busuk yang menebarkan virus mematikan. Sebegitu hinanyakah aku?Kupandang seraut wajah yang memantul di cermin hias—di depanku. Kulihat bulu-bulu halus tumbuh semakin lebat di wajahku. Bulu-bulu itu kini sudah memenuhi seluruh permukaan wajahku. Air mataku menitik. Perih menyerusup di relung hatiku. Tuhan… apa dosaku sehingga wajahku diserupakan selayak wajah cigak[1] seperti ini? Sampai kapan derita ini harus kujalani? Selayaknya gadis-gadis lain, aku juga memiliki impian; kelak bisa membangun bahtera rumah tangga bahagia dalam balutan kasih saying dan cinta. Memiliki suami berwajah rupawan, serta menimang-nimang bayi mungil dengan gelak tawa riang. Namun segala harapanku serupa menantikan kayu ara tak bergetah. Hatiku tercabik-cabik. Perih!
Kulihat dari bibir jendela, Paman Harun tengah memandikan topeng bahgie[2] warisan Datuk Bonai dengan kembang tujuh rupa di tepi keloyang[3] berair jernih. Ritual itu rutin ia lakukan setiap 40 hari sekali. Terkadang diselingi dengan nyanyian syair Puan Serayu dan mantera uang bunian yang dilagukan dengan iringan petikan kecapi. Merdu sekali.
Kata Paman Harun, topeng bahgie itu adalah topeng kebahagiaan. Siapa saja yang memakainya, hidupnya akan selalu bahagia. Aku gegas mengenakan topeng itu untuk membuktikan. Ternyata perkataan itu bukan omong kosong belaka. Aku tersentak. Sesuatu yang ajaib seperti mengulung-gulung tubuhku. Tentram, aman, damai, melebur menjadi satu di tubuhku saat permukaan topeng berwarna putih gading dan beraroma kasturi itu menyentuh permukaan wajahku yang penuh bulu. Wajahku seketika bercahaya bak bulan purnama yang menyala di tengah kegelapan malam. Cantik rupawan serupa bidadari yang turun dari negeri khayangan.
Gegas kususut air mata saat kulihat Paman Harun mengangsur langkah menghampiriku. “Masinta, kenakanlah topeng bahgie ini. Mainkanlah kecapi di tepi keloyang dengan penuh kelembutan. Siapa tahu ada pangeran tampan yang sudi menjemutmu.” Paman Harun membuhul senyum simpul.
Seketika, mataku berbinar-binar. Kubayangkan wajah pemuda tampan yang sering mengunjungiku saat aku memainkan kecapi di tepi keloyang. Kalimba, begitulah nama pemuda itu. Ah, hingga kini, telah masuk bulan ke 2 pertemuan kami, tapi aku masih merahasiakannya dari Paman Harun.
*
Tam tam tam…Puan Serayu, hoi Puan Serayu
Mencobur badan, hoi mencobur badan
Beronang-ronang, hoi masuk keloyang
Cengol tenggolam, hoi masuk keloyang,
Tam tam tam hoi
Tam tam tam…
Kunyanyikan dendang syahdu Puan Serayu dengan iringan denting kecapi yang kupetik dengan penuh kelembutan. Seketika, rindu yang teramat sangat bergemuruh di lubuk hati. Seperti seorang gadis yang telah bertahun-tahun tak berjumpa kekasihnya.
Ah, tidak! Kalimba bukan kekasihku! Kami hanya berteman. Namun karena seringnya bertatap muka, perasaan lain tumbuh bersemi di hatiku. Walau sulit mengungkapkannya, kuakui, aku benar-benar mencintainya. Sungguh! Harapanku kelak, dia mau menjadi pendamping hidupku. Memberiku kebahagiaan dan cinta, serta anak-anak berwajah rupawan yang tertawa riang. Ah, sungguh aku tak sabar menanti masa-masa itu tiba.
“Masinta, semakin hari, suaramu terdengar semakin merdu. Saat kupejam mata, syair yang kau dendangkan seperti nyanyian bidadari yang turun dari nogo-i banduan[4].” Sebuah suara mengeriap di telingaku.
“Ah, Kalimba? Di mana kau?” Aku memendarpadangmencari-cari dengan kerinduan membuncah.
Tiba-tiba permukaan keloyang bergelombang. Aku terkesiap. Percikan air serupa anak panah melesat membasahi wajahku! Mataku membulat. Kukibas-kibas pakaianku yang basah.
“Ha ha ha…!” wajah Kalimba muncul di permukaan keloyang lalu berenang ketepian. “Dalam keadaan panik seperti ini wajahmu terlihat semakin cantik saja!” Kalimba terus tertawa seraya naik ke bibir keloyang lalu duduk di sampingku. Aku meninju lengannya dengan pipi memerah.
“Kukira ada antu aiyo[5] yang mandi di tengah keloyang. Rupanya kau! Hampir saja aku mati kejang karena ketakutan!” sungutku sambil menyapu wajahku yang basah dengan lengan baju. Kalimba tersenyum. Kupandangi tubuhnya yang basah. Lekuk pundak kekarnya tampak jelas memesona di mataku.
“Aku jadi teringat Ibuku.” Kalimba memandang wajahku lekat. Matanya yang teduh membuat dadaku berdebar kencang.
“Ibumu?”
“Ya. Dia mirip sekali denganmu jika sedang marah.”
Aku tersenyum kecut.
“Ah, betapa rindunya aku padanya.” Suara Kalimba melirih. “Kau tahu? Hingga kini, telah 6.000 tahun aku tak pernah bertemu lagi dengannya.”
Aku tergelak mendengar kelakarnya. “Kukira tulang belulangmu telah remuk menyatu dengan tanah. 6.000 tahun? Hi hi hi… berguraumu terlalu berlebihan!”
“Hei, kau kira aku bercanda? Aku sungguh-sungguh!” Kalimba meraih lenganku lembut.
Aku menoleh, memandang wajahnya lekat. Dari sorot matanya yang tajam, terpancar kesungguhan yang sangat.
“Dulu Ibuku sering mandi di keloyang ini untuk memercantik diri.” Kalimba mulai berkisah. “Untuk dapat turun ke bumi, Ibuku tertebih dahulu harus mengenakan topeng bahgie agar wujud seloncak[6]-nya dapat berubah menjadi manusia.”
Aku tercekat. “Topeng bahgie?”
“Ya, topeng bahgie. Ibuku selalu mengenakannya saat akan turun ke bumi.”
Dadaku berdegup kencang. Apa mungkin ada topeng bahgie lain? “Apakah ibumu masih sering mandi di keloyang ini? Kenapa aku tak pernah melihatnya?”
“Sejak topeng bahgie itu hilang, Ibuku tak pernah lagi mandi di keloyang ini.”
Aku terhenyak mendengar pengakuannya. Topeng bahgie ibunya hilang? Apa mungkin topeng yang aku kenakan ini adalah topeng bahgie milik ibunya yang hilang itu?
“Aku sungguh menyesal telah menghilangkan topeng itu.” Suara Kalimba bergetar.
“Kau?”
“Ya. Waktu itu aku ingin sekali turun ke bumi dan merasakan sejuknya mandi di keloyang ini. Namun, setiap kali kuutarakan keinginanku, Ibu tak pernah mengizinkan. Kutanya alasannya, Ibu tak pernah memberi jawaban. Aku kesal. Diam-diam, tanpa sepengetahuan Ibu, aku pun mencuri topeng itu lalu mengenakannya. Hanya dalam hitungan detik, aku sudah bisa menginjakkan kaki di bumi. Ah, betapa senangnya! Aku akhirnya bisa mandi dan berenang sepuasnya di keloyang ini.” Kalimba menarik nafas dalam-dalam. “Usai mandi dan berpakaian kembali, aku baru tersadar, topeng yang kukenakan telah terlepas dari wajahku. Aku panik bukan kepalang. Tanpa topeng itu, aku tak kan bisa kembali ke nogo-i banduan…” Kalimba menghela nafas berat. Nyeri mengeriap di ujung tutur katanya. “Mungkin sudah takdirku bernasib malang. 6.000 tahun membilas peluh, menyiang setiap inci bumi, namun topeng bahgie itu tak pernah berujung temu. Padahal kerinduanku akan Ibu sungguh tak tertahankan lagi…” air mata Kalimba meluncur deras.
Aku beku dalam ngilu. Dapat kurasakan betapa sakitnya ia. Namun, semakin dalam kurasai tangisnya, semakin nyeri pula belati yang menusuk hatiku.
Kalimba meraih sebuah gulungan dari balik pakaiannya. Perlahan direntangnya gulungan itu hingga dapat kulihat sepotong lukisan itu menampakkan wujud cantik bidadari yang melempar senyum ke arahku. Songket sutera ungu muda yang dikenakan membuatnya semakin memesona. Sebuah topeng putih gading menyembul dari balik jemari lentiknya. Aku mengerjap-ngerjap penuh kekaguman.
“Dia pasti ibumu…” ucapku rendah tanpa memalingkan wajah dari lukisan itu.
Kalimba mengangguk. “Andai topeng bahgie itu bisa kutemukan kembali, aku bersumpah akan bersujud di kakinya memohon ampun atas kedurhakaan yang telah kuperbuat. Akan kulepas dahaga rinduku dengan memeluknya erat…” Kalimba tersedu-sedu. “Tapi, kemana lagi akan kucari topeng bahgie itu jika setiap inci bumi menyatakan tiada? Akankah kuperam rinduku hingga aku mati?”
Tubuhku bergetar. Air mata yang sejak tadi kutahan meluncur tak terbendung. Dadaku semakin sesak menghadapi kenyataan, bahwa: topeng bahgie yang selama ini Kalimba cari-cari melekat di tubuhku. Jika aku kembalikan, maka aku akan kehilangan kekasih yang teramat kucintai untuk selama-lamanya. Wajah jelita yang selama ini ada padaku takkan pernah lagi menjadi penghibur piluku. Aku akan merajut tangis, luka, dan sesal sepanjang usia dalam wujud buruk rupa hingga ajal menjemputku. Apa aku sanggup menjalani segala derita ini?
Jika topeng bahgie itu tak kuberikan, maka sungguh aku telah teramat zolim merenggut sebuah kebahagiaan di atas penderitaan orang lain. 6.000 tahun adalah penantian teramat panjang. Tegakah aku mengubur rindu Kalimba pada ibunya yang telah ia perjuangkan dengan keringat dan darah berujung sia-sia?
Ah, sudah saatnya aku berkorban! Walau pengorbanan ini teramat menyakitkan, namun kuyakin, kelak seluruh bahagia yang kuberikan akan menjadikanku mulia di sisi Tuhan.
“Masinta? Kau menangis?” Kalimba menyusut embun yang berenang di pipiku. “Maafkan aku. Tidak seharusnya aku menceritakan semua penderitaanku padamu hingga membuatmu sedih.”
“Aku menangis bukan karena sedih, tapi karena bahagia.”
“Bahagia?”
Kuseka sisa air mataku lalu tersenyum hangat. “Sebentar lagi kau akan mendapatkan kembali kebahagiaanmu.”
“Maksudmu?”
“Kau akan bertemu dengan ibumu kembali.”
“Hah? Bagaimana mungkin?”
“Kau akan mendapatkan kembali topeng bahgie-mu yang telah hilang!”
“Kau jangan bergurau!”
“Aku sungguh-sungguh! Topeng bahgie itu ada padaku. Dan aku akan segera mengembalikannya padamu!”
“Ya Tuhan… di mana topeng itu? Aku ingin segera memakainya! Aku ingin kembali ke nogo-i banduan! Sungguh, aku sudah tak sabar ingin mencium dan memeluk Ibuku kembali!” kedua lengan Kalimba yang melekat di pundakku membuat tubuhku terguncang-guncang. Kupandang wajahnya. Sungguh, wajah itu berseri-seri. Belum pernah aku melihat ia sebahagia ini sebelumnya.
“Tunggulah besok pagi di tepi keloyang ini. Aku berjanji akan memberikannya padamu,” kulempar senyum termanisku. Ia membalas dengan senyumnya yang menawan.
Aku memutar tubuhku dengan dada teriris. Saat kulangkahkan kaki, air mataku tumpah dengan derasnya.
*
Pagi masih berselimut kabut. Aku merapatkan selendang penutup kepala. Segera aku bersembunyi di balik pohon ara saat kulihat bayangan Kalimba melangkah menghampiri keloyang.Aku mengintip dari celah akar yang menjuntai. Kulihat Kalimba tersenyum saat melihat topeng bahgie yang kuletakkan tak jauh dari tempat persembunyianku.
“Masinta… kau dimana?” Kalimba berseru.
Aku menarik tubuhku lalu bersandar pada pohon ara.
“Aku ingin berterimakasih padamu karena telah sudi mengembalikan topeng yang selama ini kucari-cari.”
Aku diam.
“Tahu kah kau? Betapa bahagianya aku kini! Sebentar lagi aku akan bertemu kembali dengan Ibu kandungku. Setelah 6.000 tahun memendam rindu, akhirnya aku dapat kembali memelukknya. Masinta, kau dimana?” Kalimba memendar pandang, mencari-cariku mengelilingi bibir keloyang. Diperiksanya setiap pohon dan belukar, namun ia tak kunjung menemukanku.
Kalimba melangkah menuju peraduan. Berkali-kali ia mengetuk pintu dan menyerukan namaku, namun tak seorang pun yang membukakan pintu. Paman Usman sedang pergi mengail ikan di sungai dan baru akan pulang menjelang sore nanti.
“Kumohon, izinkan aku bertemu denganmu untuk kali terakhir, Masinta! Setidaknya aku bisa memeluk dan memandang senyummu saat melepas kepergianku…”
Kata-kata itu begitu lirih merobek-robek jantungku. Sungguh, aku ingin sekali memeluknya. Ingin sekali tersenyum dan melambaikan tangan untuk melepas kepergiannya. Namun semua itu tak mungkin kulakukan. Wajahku tak cantik lagi. Wajahku kini buruk rupa. Dan jika dia tahu keadaanku ini, hatinya pasti akan semakin terluka.
“Masinta… aku harus pergi. Walau setelah ini kita takkanpernah bertemu lagi, namun kenangan yang telah kita toreh bersama di sini takkanpernah hilang dalam ingatan. Aku pasti akan selalu merindukanmu, Masinta…” bibir Kalimba bergetar.
Aku memalingkan wajahku. Tak sanggup kulihat kelopak matanya basah oleh air mata. Kurasakan angin berhembus kencang. Suara gemerincing lonceng berdentang riuh. Entah bagaimana wujud Kalimba saat mengenakan topeng bahgie, aku tak tahu. Yang kutahu hanya gemuruh kepak sayap kunang-kunang yang menghantar kepergiannya disertai dentang lonceng yang semakin meredup, jauh… jauh… jauh, dan… hilang!
*
Cahaya mentari telah tempias ke arah barat saat Paman Harun kembali. Wajahnya pucat sekali. Tak ada seekor ikan pun yang terlihat dalam kalangan[7] yang ditentengnya.“Entah kenapa, hari ini ikan-ikan di sungai tak sudi mematuk pancingku.” Paman Harun mendesah berat lalu menolehku. Kernyit alisnya melihatku tak mengenakan topeng. Aku merapatkan selendang di kepala, berusaha menyembunyikan wajahku dari tatapannya yang tajam.
“Kau tak mengenakan topengmu?” Paman Harun semakin dalam memandangku.
Aku diam. Mataku bergerak-gerak gelisah.
“Apa yang telah terjadi? Dimana topeng itu?”
Tubuhku menggigil. Aku meringkukkan wajah.
“Masinta, kau kenapa? Kenapa kau diam saja?”
“Topeng itu…” bibirku bergetar.
“Adaapa dengan topeng itu?”
“Topeng itu—telah aku kembalikan pada pemiliknya…”
“Kalimba?!” Paman Harun terhenyak. Matanya membelalak. “Oh… celaka! Sekarang keloyang telah kehilangan penjaganya! Dukun-dukun pemburu siluman itu pasti sebentar lagi akan menyerang kita!”
Aku menelan ludah. Apakah Kalimba yang dimaksud Paman Harun sebagai penjaga keloyang? Lalu siapa pula dukun-dukun pemburu siluman itu?
Paman Harun gegas mengambil kecapi emas dari dalam lemari. Serasa terhenti detak jantungku, saat Paman Harun menoleh, kulihat separuh wajahnya telah berwarna hijau! Oh… malapetaka apa lagi ini?! Belum sempat kuatur nafas, aku sudah dikejutkan lagi oleh tetabuh kompang[8] yang menjerit dari kejauhan disertai mantra-mantra uang bunian[9].
“Tolong kau jaga kecapi emas ini baik-baik!”
“Paman hendak kemana?”
“Mau tidak mau aku harus menghadapi dukun-dukun itu!”
Dari bibir jendela kulihat Paman Harun berlari ke tepi keloyang. Sementara bunyi tetabuh kompang kian menusuk-nusuk pendengaran. Kulihat Paman Harun menjerit-jerit kesakitan mendengar mantera-mantera yang terus dimuntahkan dukun-dukun keparat itu.
Byuurrr! Paman Harun melompat ke dalam keloyang. Seorang dukun sigap melempar jala. Saat jala itu diangkat, tampaklah seekor biawak menggelepar-gelepar terperangkap. Dukun-dukun itu mengikat mulut, tangan, dan kaki biawak itu dengan tali rotan lalu memasukkannya ke dalam kandulan[10].
Aku berlari ke semak-semak. Dari balik pohon ara kulihat mata biawak jelmaan Paman Harun itu sedang menatapku lirih. Dadaku semakin teriris-iris melihat air matanya mengalir deras. Sebentar lagi biawak itu pasti akan segera disembelih, dikuliti, dikeringkan, lalu dijadikan ramuan obat serta jimat.
Aku menjerit saat kulihat dukun-dukun itu pergi membawa biawak jelmaan Paman Harun meninggalkan keloyang. Kecapi emas di tanganku terhempas! Bunyi kretak kudengar kemudian, seperti cangkang telur yang menetas. Sejuta bulu-bulu halus terbang terbawa hembusan angin, berhamburan ke udara.
Dari kejauhan, kutangkap dentang lonceng bergemerincing riuh. Cahaya kunang-kunang berpendar memenuhi keloyang seperti hujan salju. Aku kian terpana saat melihat seorang bidadari berenang ke tepian lalu duduk di sebuah batu hitam. Tiba-tiba terdengar tangisnya sesengukkan. Aku melangkah menghampirinya.
“Sekian lama kucari-cari Purnama itu, ternyata ia kini ada di dekatku…” ucap bidadari itu seraya menyeka air mata. Suaranya kudengar aneh.
Purnama? Aku membatin heran.
Bidadari itu mengangkat wajahnya, menatapku. “Ya, Purnama. Dialah orang yang selama ini kucari-cari.”
Ya Tuhan… dia bisa membaca pikiranku? Lalu siapakah Purnama yang ia maksudkan itu?
“Kaulah Purnama yang kumaksud itu…”
“Ak… aku?” mataku membulat.
“Ya. Coba sekarang kau lihat wajahmu di keloyang.”
Seperti orang bodoh, aku segera melangkah ke bibir keloyang lalu memandang bayanganku di permukaan air. Kulihat sesosok wanita berparas cantik sedang memandang ke arahku dengan penuh takjub. Ah, apa aku tengah bermimpi? Aku seperti melihat wanita cantik yang terkurung dalam lukisan Kalimba. Bukankah wanita dalam lukisan itu adalah Ibu Kalimba? Kenapa sekarang aku melihatnya sebagai bayanganku di permukaan air itu? Aku mengusap-ngusap wajahku tak percaya. Hei, wanita di permukaan keloyang itu pun mengusap-ngusap wajahnya!
“Ibu, bolehkah aku memelukmu sekarang?” bidadari itu mendekat.
“Ibu?! Kk… kau memanggilku Ibu…?”
Bidadari itu mengangkat kedua tangannya lalu membuka topeng yang melekat di wajahnya. Aku terbelakak! Wajah di balik topeng itu sungguh tampan! Dan betapa aku sangat mengenalnya!
“Kalimba??!” aku terpekik. Jantungku seperti terhempas ke tanah.
“Sekarang, bolehkah aku memelukmu, Ibu?”
Aku tak mampu berkata-kata. Perasaan bahagia dan haru meledak menjadi satu di jantungku. Betapa tidak, setelah sekian lama aku mengharapkan seseorang memanggilku ‘Ibu’, saat ini kata itu benar-benar kudengar dari mulut Kalimba.
“Tentu saja, anakku! Peluklah Ibu sepuas kau mau…” suaraku bergetar. Kristal-kristal bening berguguran deras dari kelopak mataku.
Angin mendesah lirih. Gerimis luruh dari bubungan awan mengiring haru yang berdentang di hatiku. Saat kuseka air mata, sebuah suara merdu mengeriap lembut memanggil namaku. Kurasakan derap kakinya semakin mendekat. Kalimba melepas pelukanku, lalu menoleh ke sumber suara itu.
“Telah kuciptakan kelanjutan syair Puan Serayu. Aku ingin kalian mendendangkannya kelak di surga bersamaku…,” ucapnya tersenyum sambil menyerahkan selembar kertas perak bersampul beludru ungu. Sementara tangan kirinya memeluk sebuah kecapi berwarna emas.
Kulihat, matanya berbinar-binar!
*
Adryan Yahya, guru SMP Islam Al-Uswah Pekanbaru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar