Total Tayangan Halaman

Senin, 26 Desember 2011

Ketika Melankolis Terasa Sangar

Ida Ratna Isaura

mahasiswi Universitas Airlangga, suka browsing, membaca, menulis puisi, menyukai hal-hal yang menarik dan agak sinting :)

Ketika Melankolis Terasa Sangar

OPINI | 09 October 2011 | 23:01 376 30 3 dari 4 Kompasianer menilai inspiratif
Ketika mendapat tantangan untuk menulis ulasan dengan judul diatas, saya agak berpikir keras. Karena seperti yang dikatakan oleh kakak tercinta Abieomar, bahwa saya ini spesialis curhat. Jadi, teman-teman kompasianer, bagi yang mempertanyakan apakah ini ulasan, anggap saja ini juga curhat belaka.
Orang melankolis punya bakat yang besar untuk bersedih. Ia terkesan lembut dan hangat. Ia peka dan cenderung memandang berbagai hal sebagai tragedi. Kebahagiaan orang melankolis lebih banyak terletak pada perasaan terharu. Dan ia punya ikatan batin yang kuat dengan orang-orang dan berbagai hal yang ia cintai.
Puisi, dalam hal ini, tak berbeda jauh dengan orangnya. Agak mustahil bagi orang melankolis membuat puisi yang bahagia. Bukan berarti orang melankolis tidak pernah bahagia. Tapi mungkin karena ia tak punya cukup kosa kata tentang kebahagiaan.
Bait-bait puisinya cenderung terkesan muram dan terluka. Bahkan puisi bertema jatuh cinta, bila orang melankolis yang menulis, kadang terasa sakit saat dibaca. Entah dari mana datangnya bakat bersedih dan jutaan kosa kata tentang kesedihan itu.
Judul diatas sebenarnya terinspirasi dari tulisan dan percakapan bersama bang Arrie Boediman La Ede. Apakah anda percaya bahwa bang Arrie adalah orang yang melankolis? Haha…. Pasti banyak diantara anda yang dalam hal ini, sama seperti saya, meragukan ke-melankolisan-nya. Saya tidak tahu pasti. Jika kita mengikuti kuis-kuis tempramen, tentulah akan dijelaskan bahwa orang melankolis itu mempunyai jiwa seni yang tinggi. Tapi apakah itu berarti semua seniman dan sastrawan itu melankolis? Tentunya tidak. Tapi entahlah, toh orang melankolis nggak semuanya jadi seniman dan sastrawan.
Menyimak prosa bang Arrie yang berjudul “Matinya Seorang Laki-laki Pendosa”, kita bisa merasakan penggambaran tokoh perempuan dengan kepelikan dan kerumitan yang dalam. Jika saya tidak salah, sisi ke-melankolis-an itu tertangkap pada kata-kata seperti “bahkan perempuan itu, masih menyempatkan diri merenda sebuah sulaman pada selembar sutra dihati dia yang membidadari”. Bang Arrie melukiskan airmata perempuan dengan begitu dalamnya, lengkap dengan kosa kata yang menghanyutkan pembaca untuk menyelam jauh merenangi airmata perempuan itu.
Namun coba kita lihat akhir prosa tersebut, sang perempuan menghunuskan badik di tubuh lelaki sembari berkata “engkau tinggal nama bung, maaf!” Lengkap sudah saya menceritakan judul tulisan ini. Biasanya perempuan melankolis itu selamanya tak berdaya. Biasanya perempuan melankolis itu hanya bisa menangis murung menyesali nasib buruk sambil merasa tak bisa berbuat apa-apa.
Begitulah ketika melankolis terasa sangar, ada ketajaman yang menarik yang kita rasakan. Mungkin tak ada orang melankolis yang bisa merampungkan prosa dengan se-sangar itu. Mungkin hanya orang yang tidak melankolis yang bisa melakukannya.
Ketika orang melankolis sudah mencapai titik tertinggi kemarahannya, kegeramannya, maka si lembut hati bisa juga bereaksi sangar. Bahwa membunuh, mencederai, mencelakai, bukan semata pekerjaan orang yang tak punya perasaan.
(prosa bang Arrie bisa dilihat di: http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2011/10/09/matinya-seorang-laki-laki-pendosa/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar